Pemilihan Presiden Melalui MPR, Apakah Bisa Atasi Politik Uang?
Pemilihan Presiden Melalui MPR, Pada 5 juni lalu, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) periode 1999-2004 Amien Rais mengaku setuju jika sistem pemilihan presiden di kembalikan lagi kepada MPR seperti pada era sebelum reformasi.
Amien mengaku dulu bersikap naif ketika mengubah sistem pemilihan presiden dari tidak langsung menjadi langsung. Sebab, saat itu ia merasa tidak mungkin seseorang bisa menyogok jutaan rakyat saat pemilu.
“Jadi dulu, itu kita mengatakan kalau di pilih langsung one man one vote, mana mungkin ada orang mau menyogok 120 juta pemilih, mana mungkin? Perlu puluhan mungkin ratusan triliun. Ternyata mungkin. Nah itu,” kata Amien kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan.
“Itu (politik menyogok) luar biasa. Jadi sekarang kalau mau di kembalikan di pilih MPR, mengapa tidak?” kata Ketua Majelis Syuro Partai Ummat tersebut. Pernyataan Amien ini menuai kontroversi. Sebab, ada pendapat yang mengatakan belum tentu pemilihan presiden yang di kembalikan ke MPR bebas dari politik uang.
Awal mula pemilihan langsung
Dalam buku Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (2021) karya Jimly Asshiddiqie, sebelum tahun 2004, pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia di lakukan oleh MPR melalui sidang umum.
Sampai akhirnya pada tahun 2001, seiring dengan adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 maka di mulailah pemilihan umum presiden dan wakil presiden Indonesia secra langsung sesuai dengan pasal 6A Ayat (1) UUD yang menyebutkan, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.
Selanjutnya, Presiden Megawati menandatangani Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang pemilihan presiden dan wakil presiden pada tanggal 31 juli 2003.
Pasal 5 ayat (4) UU tersebut mengatur bahwa calon presiden dan wakil presiden hanya dapat di ajukan oleh partai politik atau gabungan partai yang mendapatkan sedikitnya 15 presen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu anggota DPR.
Pasangan calon presiden dan calon wakil presiden kemudian di nyatakan terpilih apabila memperoleh sekurang-kurangnya 50 persen dari jumlah seluruh suara dalam pemilihan umum dan sekurang-kurangnya 20 persen suara dari masing-masing provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Ketentuan dini di sebutkan dalam Pasal 66 Ayat (2) UU Pemilu.
Baca juga: Anies dan PDI-P, Dulu Bersebrangan Kini Saling Lempar Sinyal
Jika dalam ketentuan tersebut tidak ada pasangan yang terpilih makan selanjutnya di adakan putaran kedua. Saat itu, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua di pilih kembali secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum presiden.
Sejak saat itu, pilpres selalu di gelar secara langsung. Rakyat dapat menggunakan hal pilihnya secara langsung. Rakyat dapat menggunakan hak pilihnya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.